2030
Bayangkan bangun tidur di tahun 2030. Jam wekermu bukan lagi berbentuk kotak kecil di meja, tapi proyeksi holografik yang muncul dari cincin pintar di jarimu.
Kamu tak perlu buru-buru ke kantor atau sekolah—semuanya bisa dilakukan dari rumah lewat realitas virtual yang terasa seperti dunia nyata.
Di tahun 2030, kota-kota besar sudah dipenuhi kendaraan listrik otomatis.
Tak ada lagi suara bising mesin atau polusi tebal seperti dulu. M
obil-mobil ini bisa memarkir sendiri, bahkan kadang bisa jadi ruang kerja pribadi saat kamu dalam perjalanan.
Sektor pendidikan berubah drastis. Anak-anak tidak lagi membawa tas berat berisi buku.
Semua materi ada di satu kacamata pintar yang bisa menampilkan visual interaktif, dari planet di luar angkasa hingga simulasi sejarah yang terasa nyata.
Teknologi juga membuat dunia lebih inklusif.
Robot dan AI membantu orang tua, mendampingi mereka seperti sahabat.
Bahkan pekerjaan yang dulu dianggap hanya bisa dilakukan manusia, seperti menulis, melukis, atau mencipta musik, kini bisa jadi hasil kolaborasi antara manusia dan mesin.
Namun, kemajuan ini datang dengan tantangan. Privasi makin langka, dan orang-orang mulai bertanya: apakah kita masih bebas jika semuanya dimonitor oleh sistem pintar? Apakah kita masih "hidup" jika semua serba otomatis?
2030 bukan hanya tentang teknologi canggih.
Ia adalah tentang bagaimana manusia menyesuaikan diri, menjaga nilai, dan terus bertanya: ke mana kita akan pergi selanjutnya?
.jpg)